Sejarah dunia khususnya Perang Dunia ke-2
(PDII) sudah pernah kita pelajari sebelumnya dari mulai SD sampai SMP.
Tapi tahukah para pembaca yang mulia, jika pemboman di Hiroshima dan
Nagasaki akibat salah terjemahan?
Peristiwa pengeboman Hiroshima dan Nagasaki pada Agustus 1945 terjadi karena kesalahan terjemahan. Pada Juli 1945, Amerika Serikat menerbitkan postdam declaration yang berisi tentang pilihan yaitu Jepang harus menyerah tanpa syarat atau akan diserang dengan kekuatan yang menghancurkan secara total.
Jepang yang saat itu benar-benar terdesak, mengeluarkan pernyataan balasan berisikan “untuk sementara tidak ada komentar, kami akan memikirkan tawaran tersebut”. Celakanya, pernyataan “no comment” perdana menteri Jepang saat itu, Kantaro Suzuki yang diucapkan dalam bahasa Jepang “mokusatsu” diterjemahkan menjadi “kami tidak akan memperdulikan ultimatum sampah itu” oleh ahli bahasa dari Jerman saat itu. Seharusnya Penerjemah tersebut harus melihat situasi pada saat itu bukan hanya sekedar menerjemahkan kata saja. Akibat kesalahan terjemahan ini, Presiden Harry Truman marah dan 10 hari setelah pernyataan tersebut dikeluarkan, Hiroshima rata dengan tanah disusul Nagasaki 3 hari kemudian.
Kesalahan pemilihan arti ketika menerjemahkan akan sangat fatal akibatnya pada level yang berbeda-beda. Menurut Torikai Kumiai, ahli penerjemahan Jepang, mungkin memang dalam bahasa Jepang pun arti “mokusatsu” memiliki dua arti yang aimai (bermakna bias) yakni “menolak” dan “tidak mau berkomentar dulu atau ingin berdiam diri sejenak”.
Menerjemahkan itu bukanlah suatu yang mudah dengan hanya mengartikan kata demi kata, tapi juga harus memperhatikan aspek-aspek di luar itu, seperti melihat konteks, sikap penutur, dan lain-lain. Bayangkan dampak kesalahan terjemahan mengakibatkan ribuan manusia cacat, luka, bahkan meninggal.
Analisis kesalahan merupakan bidang kajian yang masuk dalam payung linguistic terapan. Kajian ini sebenarnya bukan hal yang baru bagi para guru bahasa, karena hasil penerapan analisis kesalahan dimanfaatkan untuk memperbaiki proses belajar mengajar bahasa, baik untuk memperbaiki kesalahan yang dibuat pembelajar maupun untuk membantu guru
menyusun strategi pembelajaran yang tepat.
Brown (via Sanal, 2008) mendefinisikan analisis kesalahan (error analysis) sebagai ”the
fact that learners do make errors and thes errors can be observerd, analysed and classified to reveal some thing of the system operating within the learner led to a surge of study of learners’errors called ‘error analysis”. Senada dengan itu Ruru dan Ruru (via Pateda, 1989) berpendapat bahwa analisis kesalahan adalah suatu teknik untuk mengidentifikasikan, mengklasifikasikan dan menginterpretasikan secara sistematis kesalahan-kesalahan yang dibuat
oleh si terdidik yang sedang belajar bahasa asing atau bahasa kedua dengan menggunakan teori-teori dan prosedur berdasarkan linguistik. Kesalahan biasanya ditentukan berdasarkan ukuran keberterimaan dari sudut pandang penutur asli. Dari kedua pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa analisis kesalahan merupakan prosedur sistematis berdasarkan linguistic untuk menemukan dan mengklasifikasikan kesalahan yang tidak dapat diterima (dibenarkan) berdasarkan kaidah bahasa target yang dibuat oleh pembelajar bahasa (asing).
Kesalahan dalam kajian analisis kesalahan dapat diklasifikasikan ke dalam 2 macam yaitu kesalahan (error) dan kekeliruan (mistakes). Kekeliruan terkait ketidakmampuan menghasilkan ujaran berbahasa yang tidak disengaja, kekeliruan bukan merupakan hasil dari kurangnya kompetensi berbahasa yang dimiliki pembelajar. Kekeliruan ini sifatnya ttidak sistematis, sehingga ketika pembelajar bahasa menyadari kekeliruan tersebut dapat segera memperbaikinya. Sebaliknya kesalahan (error) merupakan kesalahan yang dibuat oleh pembelajar bahasa bersifat sistematis yang disebabkan karena tidak memiliki kompetensi berbahasa yang memadai. Corder (via Sanal, 2008) mengatakan: Errors are deviances that are due to deficient competence (i.e”knowledge” of the language, which may or may not be conscious). As the are due to deficient competence the tend to be systematic and not self correctable. Whereas “mistakes” or “lapses” that are due to performance deficiencies and arise from lack of attention, slips of memory, anxiety possibly caused by pressure of time etc. They are not systematic and readily indentifiable and self corectable.
Kompetensi yang dimaksud di sini adalah kemampuan pembicara atau penulis untuk melahirkan bahasa sesuai dengan kaidah bahasa yang digunakannya. Karena bahasa yang dihasilkan berwujud kata, kalimat dan makna, maka kesalahan yang perlu dianalisis mencakup pada tataran fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik. (Pateda, 1989:34).
Kegiatan penerjemahan merupakan keterampilan yang sulit. Penguasaan terhadap bahasa Inggris saja sebagai bahasa sumber atau bahasa Indonesia sebagai bahasa sasaran tidak menjamin kehandalan atau keterpercayaan terjemahan yang dihasilkan. Mereka mesti menguasai tata
bahasa kedua bahasa. Perbedaan gramatika dari kedua bahasa ini jika tidak dikuasai secara baik tentu saja akan mengakibatkan kesalahan, (Machali, 2000). Misalnya, kaidah frasa
bahasa Indonesia adalah D(iterangkan) dan M(enerangkan), seperti siswa pandai yang berpadanan dengan intelligent student karena di dalam bahasa Inggris berlaku kaidah MD. Interferensi bahasa ibu (native language) juga ikut andil dalam memberikan kesalahan dealam
penerjemahan. Misalnya, seorang mahasiswa dalam menerjemahkan teks bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris dipengaruhi oleh kaidah penulisan bahasa Indonesia, seperti expression yang ditulis dengan *ekpression. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kesalahan dalam penterjemahan akan sangat dipengaruhi oleh pengalaman, intelejensia dan daya pikir serta emosional dari sang penerjemah. Seorang penerjemah yang memiliki sertifikasi sebagai penerjemah tersumpahpun akan sangat mungkin untuk melakukan kesalahan elementer. Sehingga dengan fakta ini menunjukkan bahwa alih bahasa merupakan sesuatu yang cukup dan harus dimengerti bahwa hal tersebut harus dikembalikan pada orang itu sendiri. Mungkinkah seorang dengan background ilmu sosial mampu menerjemahkan secara tepat buku kajian teknologi misalnya. Tentunya hal ini patut menjadi perhatian bagi Pemerintah, bahwa disamping sertifikasi harus dipikirkan juga pentingnya pengelompokan kualifikasi penerjemah.
Peristiwa pengeboman Hiroshima dan Nagasaki pada Agustus 1945 terjadi karena kesalahan terjemahan. Pada Juli 1945, Amerika Serikat menerbitkan postdam declaration yang berisi tentang pilihan yaitu Jepang harus menyerah tanpa syarat atau akan diserang dengan kekuatan yang menghancurkan secara total.
Jepang yang saat itu benar-benar terdesak, mengeluarkan pernyataan balasan berisikan “untuk sementara tidak ada komentar, kami akan memikirkan tawaran tersebut”. Celakanya, pernyataan “no comment” perdana menteri Jepang saat itu, Kantaro Suzuki yang diucapkan dalam bahasa Jepang “mokusatsu” diterjemahkan menjadi “kami tidak akan memperdulikan ultimatum sampah itu” oleh ahli bahasa dari Jerman saat itu. Seharusnya Penerjemah tersebut harus melihat situasi pada saat itu bukan hanya sekedar menerjemahkan kata saja. Akibat kesalahan terjemahan ini, Presiden Harry Truman marah dan 10 hari setelah pernyataan tersebut dikeluarkan, Hiroshima rata dengan tanah disusul Nagasaki 3 hari kemudian.
Kesalahan pemilihan arti ketika menerjemahkan akan sangat fatal akibatnya pada level yang berbeda-beda. Menurut Torikai Kumiai, ahli penerjemahan Jepang, mungkin memang dalam bahasa Jepang pun arti “mokusatsu” memiliki dua arti yang aimai (bermakna bias) yakni “menolak” dan “tidak mau berkomentar dulu atau ingin berdiam diri sejenak”.
Menerjemahkan itu bukanlah suatu yang mudah dengan hanya mengartikan kata demi kata, tapi juga harus memperhatikan aspek-aspek di luar itu, seperti melihat konteks, sikap penutur, dan lain-lain. Bayangkan dampak kesalahan terjemahan mengakibatkan ribuan manusia cacat, luka, bahkan meninggal.
Analisis kesalahan merupakan bidang kajian yang masuk dalam payung linguistic terapan. Kajian ini sebenarnya bukan hal yang baru bagi para guru bahasa, karena hasil penerapan analisis kesalahan dimanfaatkan untuk memperbaiki proses belajar mengajar bahasa, baik untuk memperbaiki kesalahan yang dibuat pembelajar maupun untuk membantu guru
menyusun strategi pembelajaran yang tepat.
Brown (via Sanal, 2008) mendefinisikan analisis kesalahan (error analysis) sebagai ”the
fact that learners do make errors and thes errors can be observerd, analysed and classified to reveal some thing of the system operating within the learner led to a surge of study of learners’errors called ‘error analysis”. Senada dengan itu Ruru dan Ruru (via Pateda, 1989) berpendapat bahwa analisis kesalahan adalah suatu teknik untuk mengidentifikasikan, mengklasifikasikan dan menginterpretasikan secara sistematis kesalahan-kesalahan yang dibuat
oleh si terdidik yang sedang belajar bahasa asing atau bahasa kedua dengan menggunakan teori-teori dan prosedur berdasarkan linguistik. Kesalahan biasanya ditentukan berdasarkan ukuran keberterimaan dari sudut pandang penutur asli. Dari kedua pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa analisis kesalahan merupakan prosedur sistematis berdasarkan linguistic untuk menemukan dan mengklasifikasikan kesalahan yang tidak dapat diterima (dibenarkan) berdasarkan kaidah bahasa target yang dibuat oleh pembelajar bahasa (asing).
Kesalahan dalam kajian analisis kesalahan dapat diklasifikasikan ke dalam 2 macam yaitu kesalahan (error) dan kekeliruan (mistakes). Kekeliruan terkait ketidakmampuan menghasilkan ujaran berbahasa yang tidak disengaja, kekeliruan bukan merupakan hasil dari kurangnya kompetensi berbahasa yang dimiliki pembelajar. Kekeliruan ini sifatnya ttidak sistematis, sehingga ketika pembelajar bahasa menyadari kekeliruan tersebut dapat segera memperbaikinya. Sebaliknya kesalahan (error) merupakan kesalahan yang dibuat oleh pembelajar bahasa bersifat sistematis yang disebabkan karena tidak memiliki kompetensi berbahasa yang memadai. Corder (via Sanal, 2008) mengatakan: Errors are deviances that are due to deficient competence (i.e”knowledge” of the language, which may or may not be conscious). As the are due to deficient competence the tend to be systematic and not self correctable. Whereas “mistakes” or “lapses” that are due to performance deficiencies and arise from lack of attention, slips of memory, anxiety possibly caused by pressure of time etc. They are not systematic and readily indentifiable and self corectable.
Kompetensi yang dimaksud di sini adalah kemampuan pembicara atau penulis untuk melahirkan bahasa sesuai dengan kaidah bahasa yang digunakannya. Karena bahasa yang dihasilkan berwujud kata, kalimat dan makna, maka kesalahan yang perlu dianalisis mencakup pada tataran fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik. (Pateda, 1989:34).
Kegiatan penerjemahan merupakan keterampilan yang sulit. Penguasaan terhadap bahasa Inggris saja sebagai bahasa sumber atau bahasa Indonesia sebagai bahasa sasaran tidak menjamin kehandalan atau keterpercayaan terjemahan yang dihasilkan. Mereka mesti menguasai tata
bahasa kedua bahasa. Perbedaan gramatika dari kedua bahasa ini jika tidak dikuasai secara baik tentu saja akan mengakibatkan kesalahan, (Machali, 2000). Misalnya, kaidah frasa
bahasa Indonesia adalah D(iterangkan) dan M(enerangkan), seperti siswa pandai yang berpadanan dengan intelligent student karena di dalam bahasa Inggris berlaku kaidah MD. Interferensi bahasa ibu (native language) juga ikut andil dalam memberikan kesalahan dealam
penerjemahan. Misalnya, seorang mahasiswa dalam menerjemahkan teks bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris dipengaruhi oleh kaidah penulisan bahasa Indonesia, seperti expression yang ditulis dengan *ekpression. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kesalahan dalam penterjemahan akan sangat dipengaruhi oleh pengalaman, intelejensia dan daya pikir serta emosional dari sang penerjemah. Seorang penerjemah yang memiliki sertifikasi sebagai penerjemah tersumpahpun akan sangat mungkin untuk melakukan kesalahan elementer. Sehingga dengan fakta ini menunjukkan bahwa alih bahasa merupakan sesuatu yang cukup dan harus dimengerti bahwa hal tersebut harus dikembalikan pada orang itu sendiri. Mungkinkah seorang dengan background ilmu sosial mampu menerjemahkan secara tepat buku kajian teknologi misalnya. Tentunya hal ini patut menjadi perhatian bagi Pemerintah, bahwa disamping sertifikasi harus dipikirkan juga pentingnya pengelompokan kualifikasi penerjemah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar