Membuat puisi mungkin sulit dan membosankan. Namun ada lagi yang lebih sulit yaitu menerjemahkan puisi. Menerjemahkan puisi adalah pekerjaan yang sangat jarang dilakukan seorang penerjemah. Bukan saja karena dalam menerjemahkan puisi sang penerjemah harus mengekspresikan kembali keindahan teks puisi
aslinya, tapi juga karena ia harus mengungkapkan kembali makna yang
terkandung dalam puisi tersebut ke dalam teks puisi bahasa sasaran.
Sehingga, beberapa kalangan menganggap, menerejemahkan puisi adalah hal yang mustahil dilakukan karena telah mengganti seluruh keindahan teks puisi yang asli. Meskipun begitu, ada juga yang beranggapan bahwa menerjemahkan puisi adalah hal yang wajar dalam dunia translation,
mengingat puisi adalah salah satu jenis teks yang bisa saja
diterjemahkan atau bahkan diubah menjadi bentuk seni sastra lainnya
seperti novel ataupun drama.
7 Strategi Menerjemahkan Puisi ala Andre Lavefere
Beberapa kamus mendefinisikan puisi sebagai, “The art of rhythmical composition, written or spoken, for exciting pleasure by beautiful, imaginative, or elevated thoughts.”
Sehingga wajar saja banyak pakar yang menganggap sangat sulit untuk
menerjemahkan puisi karena seni yang satu ini kaya akan keindahan dan
imajinasi. Namun begitu ada juga pakar dalam bidang translation yang
sangat peduli akan penerjemahan puisi ini. Salah satu pakar dalam bidang
Translation, Andre Lavefere, adalah salah seorang yang aware untuk penerjemahan puisi. Sehingga ia menawarkan tujuh strategi menerjemahkan puisi. Berikut adalah tujuh strategi penerjemahan puisi yang diungkapkan Lavefere, dikutip oleh Bassnett (2002:87):
1. Phonemic translation, which
attempts to reproduce the SL sound in the TL while at the same time
producing an acceptable paraphrase of the sense. Lefevere comes to the
conclusion that although this works moderately well in the translation
of onomatopoeia, the overall result is clumsy and often devoid of sense
altogether.
2. Literal translation, where the emphasis on word-for-word translation distorts the sense and the syntax of the original.
3. Metrical translation, where
the dominant criterion is the reproduction of the SL metre. Lefevere
concludes that, like literal translation, this method concentrates on
one aspect of the SL text at the expense of the text as a whole.
4. Poetry into prose. Here
Lefevere concludes that distortion of the sense, communicative value
and syntax of the SL text results from this method, although not to the
same extent as with the literal or metrical types of translation.
5. Rhymed translation, where
the translator ‘enters into a double bondage’ of metre and rhyme.
Lefevere’s conclusions here are particularly harsh, since he feels that
the end product is merely a ‘caricature’ of Catullus.
6. Blank verse translation. Again
the restrictions imposed on the translator by the choice of structure
are emphasized, although the greater accuracy and higher degree of
literalness obtained are also noted.
7. Interpretation. Under this heading, Lefevere discusses what he calls versions where the substance of the SL text is retained but the form is changed, and imitations where
the translator produces a poem of his own which has ‘only title and
point of departure, if those, in common with the source text’.
Mohon
maaf, saya tidak sempat menerjemahkannya ketujuh strategi diatas
(padahal emang ga bisa hehehe), mungkin ada yang mau menerjemahkan?
Meskipun tidak saya terjemahkan, namun bahasa yang diungkapkan oleh
Bassnett diatas sudah sangat mudah diterjemahkan bukan? Semoga referensi Bahasa Inggris kali ini bisa bermanfaat bagi yang membutuhkannya.
Oia nih ada kata-kata keren tentang ke-impossible-an menerjemahkan puisi:
“Translate it with absolute fidelity into another language, and the poetry is dead!!!” (Clement Wood)
Referensi
Bassnett, Susan. 2002. Translation Studies 3rd edition. London and New York: Routledge.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar